Senin, 09 Juli 2007

news

Perkembangan udang introduksi dimasyarakat

Halaman 1 dari 1

Terpuruknya usaha budidaya udang windu di negara kita sejak tahun 1993, merangsang para pengusaha tambak untuk memperbaiki usahanya melalui impor udang yang ditengarai memiliki performance lebih baik dibanding udang windu. Berdasarkan Surat Dirjen Perikanan pada Oktober 2000 telah diberikan rekomendasi pemasukan benih dan induk udang vaname kepada PT Alamanda Tjandra (sebagai Pioneer) dengan mensyaratkan beberapa ketentuan :

a. Benih dan induk udang yang akan diimpor harus memiliki Surat Kesehatan Ikan (Fish Health Certificate) dan Surat Keterangan Asal (Certificate or Original) dari negara asal.

b. Termasuk kategori Specific Pathogenic Free (SPF) terhadap Taura Syndrome Virus dan Specific Pathogenic Resistant (SPR) terhadap Taura Syndrome Virus, SEMBV dan Yellowhead Deseases

c. Sebelum dikembangkan harus melalui proses uji coba; jika hasil uji coba menunjukkan dampak negatif bagi perkembangan udang nasional, maka udang tersebut dimusnahkan.

d. Memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di bidang karantina, impor dan peredaran benih dan induk udang.

Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan oleh Balai Riset Perikanan Budidaya Gondol yang memberikan perkembangan positif, melalui KepMen Kelautan dan Perikanan, pada Juli 2001 udang vaname telah dilepas sebagai udang unggul dan dapat dikembangkan di masyarakat, dengan persyaratan iinduk unggul tersedia. Dalam perkembangannya udang vaname cukup menarik para pengusaha dan petani tambak untuk melakukan pembudidayaan di tambak khususnya di propinsi Jawa Timur, Lampung dan Bali, karena jenis udang ini mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dan lebih resistant terhadap White Spot yang saat ini melanda budidaya udang windu. Namun dalam perkembangan selanjutnya, udang tersebut menunjukkan perkembangan negative dengan adanya kondisi-kondisi sebagai berikut :

a. Selain induk impor semakin banyak hatchery baik di propinsi Lampung, Bali dan khususnya Jawa Timur yang menggunakan induk hasil budidaya petambak setempat yang diperoleh melalui seleksi berdasarkan ukuran berat dan kelengkapan organ tubuh saja, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang benar dalam menghasilkan induk.

b. Penerapan tekhnologi intensif dengan padat tebar lebih besar dari 100 ekor/m², bahkan beberapa tempat di Jawa Timur dan Bali terdapat petani yang menerapkan penebaran lebih dari itu, dikhawatirkan akan berdampak negative bagi daya dukung perairan.

c. Pemantauan di Jawa Timur dan Bali telah ditemukan gejala klinis TSV pada udang yang dibudidayakan di tambak. Namun masih bisa dipelihara terus sampai panen, sementara hasil pemantauaqn di Lampung masih menunjukkan kondisi virus negatif

Pemantauan terakhir terhadap perkembangan udang Vaname serta pemantauan awal terhadap perkembangan udang Rostris dilakukan pada bulan November 2003 di lima propinsi pengembangan utama yaitu, di Propinsi Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Pemantauan dilakukan terhadap beberapa hatchery dan tambak untuk melihat perkembangan udang introduksi tersebut secara komprehensif, dengan hasil sebagai berikut :

1. Perkembangan Hatchery Udang Rostris dan Vaname

Tabel, Perkembangan Hatchery Udang Rostris Menurut Propinsi.

Tabel, Perkembangan Hatchery Udang Vaname Menurut Propinsi.

Hasil pemantauan perkembangan hatchery udang Vaname/Rostris

  • Semakin banyak hatchery yang menggunakan induk lokal yang diperoleh tanpa menggunakan kaidah pembuatan induk yang benar.
  • Stadia larva (PL 10 siap tebar) belum ada yang terdeteksi terinfeksi White Spot maupun TSV.
  • Khusus udang Vaname dengan semakin menurunnya harga udang konsumsi di pasaran (+ Rp. 12.000 – Rp. 20.000/kg) manjadikan kurang bergairahnya pengelola hatchery untuk menghasilkan benur Vaname. Kondisi tersebut kemungkinan akan menimpa udang Rostris nantinya.

2. Perkembangan Tambak Udang Rostris dan Vaname

Tabel, Perkembangan Tambak Udang Rostris Menurut Propinsi.

Tabel, Perkembangan Tambak Udang Vaname Menurut Propinsi.

Hasil pemantauan perkembangan tambak udang Vaname/Rostris :
Dengan semakin membanjirnya produk udang Vaname dari negara eksportir lainnya (seperti China, Taiwan), kondisi tersebut menyebabkan penurunan pangsa pasar ekspor udang Vaname dari Indonesia, yang secara langsung berpengaruh kepada harga produk yang semakin menurun. Harga udang Vaname yang mencapai Rp. 30.000,- - Rp.40.000,-/kg pada bulan Mei – Juni 2003 menurun drastis menjadi Rp. Rp.12.000,- – Rp.15.000,-/kg pada November 2003. Kondisi tersebut melunturkan minat petani untuk melakukan usaha budidaya udang Vaname. Tidak tertutup kemungkinan hal yang sama akan terjadi pula pada udang Rostris.

3. Perkembangan Udang Gimakro
Pada tahun 2001 Balitkanwar Sukamandi telah berhasil menyilangkan udang galah yang berasal dari 3 (tiga) sumber yaitu sungai Musi (Palembang), kali Pucang (Ciamis) dan Cimanuk (Bekasi) yang menghasilkan udang galah yang memiliki beberapa keunggulan dibanding udang galah umumnya, seperti ukuran kepala lebih kecil, capaian bobot tubuh lebih besar, SR lebih baik, produktivitas lebih tinggi, yang kemudian diberi nama udang Genetic Improvement of Macrobrachium atau disingkat udang Gimakro.

Pasca pelepasan udang Gimakro oleh Bapak Menteri Kelautan dan Perikanan pada bulan Juli 2001, dilakukan penyerahan calon induk oleh Ditjenkan Budidaya ke 3 UPT Derah yaitu BBUG Samas (Yogyakarta), PPU Probolinggo (Jawa Timur) dan UPUG Pamarican (Jawa Barat) untuk dikembangkan menjadi Induk Pokok yang nantinya diharapkan dapat disalurkan ke masyarakat sebagai induk unggul dalam usaha pembenihan. Pada awal perkembanganya di tiga UPT Daerah, BBUG Samas di Yogyakarta dinilai lebih berhasil dibanding PPU Probolinggo dan UPUG Pamarican.

Pada perkembangan selanjutnya dapat dilihat dengan adanya kondisi-kondisi sebagai berikut :

a. Tingkat keberhasilan pemijahan masih belum memenuhi harapan dan sangat bervariasi antar lokasi, baik perolehan fekunditas, daya tetas telur maupun SR dilevel pembenihan.

b. SR yang masih kecil pada fase larva dan tokolan menyebabkan masih kurangnya suplai benih udang Gimakro ke masyarakat.

c. Secara garis besar pelaksanaan indukisasi masih mengalami kendala teknis.

d. Sampai saat ini belum ditemui adanya penyakit yang menyerang udang Gimakro

e. Adanya kematian masal induk udang Gimakro di UPUG Pamarican, yang disebabkan oleh tidak sesuainya lingkungan tempat udang tersebut.

f. Kurangnya serapan pasar udang ukuran konsumsi mengakibatkan turunya permintaan udang galah terutama permintaan dar Propinsi Bali yang berakibat langsung pada turunnya harga jual (disinyalir akibat peristiwa bom Bali). Harga terendah yang pernah dicapai Rp. 15.000,-/kg (size 30).

g. Udang Gimakro dapat diterima di masyarakat sebagai udang galah unggul, hanya saja ditingkat pembenih/penangkar penyediaan induk pokok masih belum memadai.

Sampai dengan pertengahan bulan Juli 2003 perkembangan udang Gimakro di 3 UPT Daerah tersebut terinci sebagai berikut :

a. Data Induk

Data jumlah induk per Juli 2003 yang terdapat di 3 UPTD adalah sebagai berikut :

* termasuk calon induk

** masih berukuran tokolan dan merupakan jumlah jantan dan betina

b. Data Kegiatan Pembenihan

Dengan melihat perkembangan jumlah induk sampai dengan Juli 2003 yang berhasil memijah dan jumlah benih yang dihasilkan dapat menggambarkan tingkat keberhasilan pengembangan udang Gimakro di 3 lokasi tersebut.

c. Keragaan Program Indukisasi

c.1. Di 3 UPT Derah

Dari pemantauan ketiga lokasi , sampai dengan pertengahan Juli 2003 BBUG Samas memiliki jumlah induk/calon induk yang paling banyak. Sementara UPUG Pamarican belum berhasil dalam program indukisasi karena terjadinya banyak kematian pada induk F1 yang sampai saat ini belum diketahui penyebabnya. Sedangkan PPU Probolinggo cukup berhasil dalam hal produktifitas larva dimana setiap bulan berhasil memijahkan induk yang tersedia.

c.2. Di Inlitkanwar

Sampai saat ini induk F-1 gimakro masih terus dikembangkan di Inlitkanwar Pasar Minggu. Data induk gimakro yang terdapat di Inlitkanwar Pasar Minggu per April 2003 adalah sebagai berikut :